Minggu, 09 Januari 2011

Menziarahi Makam Tuhan

Menziarahi Makam Tuhan

Oleh: Asep Andri*

Tentang Ia yang Kita Sebut Tuhan

Siapa yang kuasa menyangkal. Ternyata Ia pernah menghilang meninggalkan kita. Sebagian menemukannya tersangkut di antara nalar-nalar pongah, yang lain meyakini Ia terselip di sudut hati nan sunyi. Atau Ia sekedar makhluk sakral tak terjamaah. Pun banyak yang mengira Ia benar-benar pergi, hingga ribuan iman runtuh menjadi puing-puing lusuh.

Ia yang nampak pemalu, sedikit kita dengar pada tiap ritus atas-Nya; hanya sengau syair rindu mangalun merdu dari al-kitab. Pada hizab kesakralan, di antara labirin suci-dosa, sempurna-tidak sempurna, baik-buruk, Ia merupa misteri nan abadi, misteri yang utuh tak tersentuh. Dalam nubuat yang tercipta pun, Ia muncul sebagai sang penyayang dan pengasih. Namun sesekali, Ia mewujud sebagai pengancam dan pendendam; nampak mampu membinasakan siapapun yang lalai kepada-Nya. Begitulah Ia atas tafsir makhluk. Dengan segala misteri-Nya, Ia mampu lahir dalam rupa apapun.

Kini akan kita lihat, kerinduan dan keterbatasan akan bersetubuh dalam benak kita, hingga melahirkan tuhan-tuhan baru. Persetubuhan yang abadi, laik keabadian misteri pada-Nya. Selama hanya parau dalil yang berbicara tentang-Nya, tuhan baru 'kan selalu lahir kembali, sebanyak benak yang pernah terperi.

Cipratan darah pun tak terelakan. 'tuhan-tuhan' yang lahir dari tiap liang benak 'kan saling membunuh, mencaci, dan memaki. Dalam medan perang yang mereka gelar, para tuhan saling menebas dan memanah. melukai dan menyakiti. Merekapun tak lebih dari anjing-anjing lapar yang berebut sebongkah bangkai. Saling menyerang, menjilat, dan menggigit.

Terlebih, 'para tuhan' 'kan banyak berperan sebagai pengeksekusi ranah kehidupan. Mereka lantas berebut kekuasaan dan perhatian. Hingga tak semestinya heran, jika kau menyaksikan 'tuhan' mengajari bagaimana mengayun dan menghunus pedang, membunuh dan membenci, fanatik dan tak peduli. Tak jarang 'ia' kemudian gemar menabuh genderang perang. Menjadi alasan di setiap kerusuhan yang tercipta.

Tuhan tak lagi sakral, Ia terjerat pada tiap nalar dan khayal. Hingga tiap benak seolah harus mewujud rahim rupa Tuhan. Melahirkan sang pengancam nan kejam, atau sang akuntan yang sekedar menghitung banyaknya dosa dan pahala. Tuhan yang Agung pun sungguh telah lama menghilang.

Para Pembunuh Tuhan

Kita dapati degup jantung-Nya pada tiap bulir tasbih. Bau nafas-Nya kita cium pada lekuk tubuh sujud kita. Dibungkus do'a-doa yang masih basah, Ia begitu nyata walau tanpa rupa. Namun, seperti nubuat yang pernah lahir dari jiwa yang gila, ternyata ia telah lama mati, pun membusuk.

Sang sakral, yang begitu laris dalam kedukaan, telah lama meregang. Ia yang ternyata mengisi bulir tasbih kita, muara dari derasnya do,a-doa kita, pun penjamin tiap kesabaran kita, hanya Tuhan yang lahir dari batok-batok kepala. Ia yang sesunguhnya, ternyata telah membusuk merupa jasad yang sunyi. Menyendiri.

Siapa yang menebas-Nya?, hingga amis darah menyeruak. Membasahi sakramen-sakramen pemujaan kita. Dzikir kita begitu basah oleh darah Tuhan. Sembahyang kita menggigil karenanya. Tak perlu berdalih, tangan kita kuyup memerah. Di balik iman-iman kita yang tak memadai, terselip sebilah pedang, bercucur darah tuhan. Saatnya kita menyadari, kita semua telah membunuh-Nya.

Tuhan telah tiada. Jasad-Nya telah terkubur dalam kesibukan dan kepentingan kita, pun tertimbun khilaf-khilaf yang menggunung. Tak lama ku melihat, sekumpulan orang-orang berjenggot yang memikul kitab dipundak-Nya, tengah menggali kubur bagi Tuhan, sembari mengiringnya dengan lafadz-lafadz yang mengering. Namun kemarin, kudapati jasad-Nya tengah diusung dalam hiruk pikuk kampanye, dan dibungkus bendera partai. Ia yang malang, hanya terkulai dihibur nyanyian dongeng-dongeng politik. Dalam ranah lain, ku cium busuk jasad-Nya di bawah meja pejabat, di dalam kantong-kantong rektorat, dan terselip diantara lipatan-lipatan sorban yang tak lagi putih. Ku pastikan, jasad-Nya pernah di seret di atas aspal, melewati riuh pasar, kerlip diskotik, dan kamar-kamar hotel yang bau senggamanya meronta dalam hidung. Namun barangkali, Ia pun sudah lama membusuk, dalam setiap relung hati kita.

Ritual apa yang pantas kita selenggarakan? Syair Do'a apa yang patut dipanjatkan?, haruskah kita sendiri menjadi Tuhan, agar pembunuhan ini menjadi lebih wajar?. Tuhan telah tiada. Siapa yang bertanggung jawab atas hidup kita?

Berziarah ke Makam Tuhan

Semesta berkabung. Tak ada lagi yang akan mengabaikan do'a-do'a kita. Dzikir menjadi tabu. Ritus ibadah merupa tanpa makna. Ia telah beristirahat dengan damai. Dalam liang lahat yang kita gali bersama.

Akan kita saksikan, banyak orang kan melepas rindu dalam remang lampu tempat ibadah. Syair puja semilir berkumandang tanpa purnama. Dalam bilik-bilik surau, pada keangkuhan gereja, di antara senyap vihara, dan dari segala tempat yang pernah Tuhan singgahi, orang-orang dengan bola mata meleleh, kan tersungkur memanggil-manggil-Nya. Bukan dalam do'a, atau sekedar menunaikan jadwal ibadah, tapi mereka sedang menziarahi Tuhan.

Kan kau dapati mesjid-mesjid menjadi lengang. Bau sungil menyeruak dan ranum melati menyumpal lubang hidung. Kumandang adzan kan tergantikan kicauan burung-burung pemakaman. Iqomah tak lebih dari risik pohon besar diterpa angin. Sajadah kan merupa hamparan bunga tujuh rupa diatas lahat. Mesjid bukan lagi penampung ritus ibadah kita, ia kan menjadi makam-makam Tuhan, makam usang tak bernisan.

Dalam ziarah, kan kita temukan nilai-nilai Tuhan yang telah lama mendingin. Nilai-nilai yang selama ini hanya terselip pada rimbun lafadz-lafadz al-kitab. Atau sekedar barang antik yang hanya di pajang para pendakwah dalam etalase retorika. Nilai-nilai yang kemudian kita warisi dari Tuhan. Hingga kita kan merupa manusia sempurna. Dan sesal Tuhan menjadi mustahil.

Tak kan pernah ada para penghunus pedang, pembakar rumah ibadah, atau penabuh genderang perang. Benak kita kan mandul tuk melahirkan tuhan-tuhan palsu. Kematian Tuhan kan terbayar ketika nilai-nilai-Nya mengalir pada darah kita. hadir pada tiap tarikan nafas kita. Marilah berziarah ke makam Tuhan, agar kita bisa mewarisi nilai-nilai-Nya, agar Ia berdamai di alam sana.

*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Semester III. Mendapat juara I lomba menulis karya fiksi se-Kabupaten Cirebon tahun 2003. Dan meraih Juara II menulis Karya Ilmiah se-Kabupaten Cirebon tahun 2005. Pernah bergiat di majalah dinding (Mading) SMA N 1 Pabedilan dan sekarang menjadi reporter (Lembaga Pers mahasiswa) LPM FatsOen IAIN Syekh Nur jati Cirebon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar