Rabu, 26 Januari 2011

Berziarah ke Makam Tuhan

Berziarah ke Makam Tuhan

: Balada kematian Sang Agung

Oleh Asep Andri*

Telah banyak jiwa merindu dalam sepi,

tetapi hanya sunyi yang menghirup bau dupa.

Balada I

Hilangkah Ia?...

Lantas Sepongah nalar selusuri relung sejarah, dalam rindu yang menggebu ataukah hasrat yang menyayat?; melewati perdu keangkuhan lembah Sinai hingga sempat ciumi amis Tanah terjanji, Tuhan kian saja asing.

Sepongah nalar kini tersesat dalam rimbun al-kitab. Lebat. Gelap. Tercium bau nafas Tuhan di sana. Ia berontak dari kekang yang mencekram. Tak ia temukan sepotong Tuhan pun. Hanya sayup desah yang menuai resah. Lekas ia beranjak.

Sepongah nalar kini menembus labirin ruang dan masa. Ia menjemput arakan salib yang tengah dipanggul seonggok tubuh ringkih. Berpeluh lusuh. Berkuyup darah. Menuju sebuah bukit penghabisan, bukit Golgota. Tempat dimana Tuhan pernah tersedu menangis. Pun meringis.

“Ah, mestikah Tuhan secengeng itu?”. Ucap sepongah nalar. Lantas beringsut. Ia melesat.

Kini Ia tengah selusuri lekuk tubuh Tuhan yang membatu. Dingin nan angkuh. Berselimut kelambu dupa. Tuhan terkulai dalam nyanyian do’a-do’a yang kian sendu.

“Mungkin Tuhan lelah, hingga Ia terlelap”. Cibir-nya. Lalu senyap.

Ia sambangi hiruk pikuk seteru. Ketika nama Tuhan diobral, hingga apapun nampak halal; Di antara reruntuhan mesjid-mesjid yang terbakar, luluh-lanta Greja karena ledakan, hingga simbah darah yang memerah basah akibat tebasan pedang Tuhan. Sepongah nalar tak menemukan sua-nya dengan Tuhan.

“Sebuah keimanan, atau Dendamkah?” Tanyanya. Semua gagap. Pun tetap senyap.

Pada suatu waktu, Ia pernah melihat Tuhan diseret dalam arak-arakan kampanye. Riuh yang tak ditemukan dalam ritus ibadah. Berpeluh. Sesak. Wajah Tuhan tersablon dalam tiap helai pamflet dan bendera partai. Tuhan pun dijual dalam etalase retorika. Visi Misi. Mimpi-mimpi. Janji-janji.

“Mengislamkan politik atau mempolitikan islam?. semua nampak serupa”. Ia meracau.

Dalam relung hati, sepongah nalar termangu. Dadanya membiru atas jejak redam rindu. Kemana ini akan beradu?.

“Tuhan, mestikah Kau malu?, ku rindu dekap-Mu. Kapan kita kembali lagi bersenandung dalam degup jantung dan menari dalam harmoni. Bahkan, kurindu bau nafas-Mu yang selalu meluruh lelahku”. Gumamnya. Kemudian sunyi.

Balada II

Pada waktu yang ternubuatkan, Sepongah nalar mendapati Tuhan terkulai. Degup jantung-Nya kan selambat putaran tasbih dan sesayup lantunan dzikir. Lantas hilang. Terganti sepi. Sunyi.

Tuhan ditemukan meregang. Meringkuk busuk. Bau bacin menyeruak seolah mampu layukan semerbak kembang. Busuk-Nya meronta dalam hidung. Napas kan tersengal laik dua lengan berurat mengerat leher. Pengap.

“Ya, Tuhanpun membusuk.” Ungkapnya.

Sang sakral, yang begitu laris dalam kedukaan, telah lama meregang. Ia yang ternyata mengisi bulir tasbih kita, muara dari derasnya do’a-do’a kita, pun penjamin tiap kesabaran kita, ternyata telah membusuk merupa jasad yang sunyi. Menyendiri. Siapa yang menebas-Nya?, hingga amis darah menyeruak. Membasahi sakramen-sakramen pemujaan kita. Dzikir kita begitu basah oleh darah Tuhan. Sembahyang kita menggigil karenanya. Tak perlu berdalih, tangan kita kuyup memerah. Di balik iman-iman kita yang tak memadai, terselip sebilah pedang, bercucur darah Tuhan. Saatnya kita menyadari, kita semua telah membunuh-Nya. Kita adalah pembunuh Tuhan Sepongah Nalar melirih. Perih.

Dengan bola mata yang masih meleleh dan dada berdarah karena tersayat rindu, ia seret jasad Tuhan. berderu tangis. Menuju lahat.

Sepongah nalar masih menyeret. Sendiri; Melewati meja-meja kerja pejabat yang nampak berkarat, kamar hotel yang bau senggamanya masih basah, kerlip diskotik, lengang mesjid. Ia masih menyeretnya. Sendiri.

Telah nampak sekumpulan umat bersorban dan berjubah putih. Dengan rambut ikal panjang. Jenggot yang tergerai. Dengan membawa pedang yang berkuyup merah. Mereka tengah menggali lahat. Sebuah lubang untuk Tuhan. Sepongah nalar kemudian heran.

“Mereka tengah mengamini Tuhan” pekiknya.

Hanya gaung yang meraung.

Balada III

Semesta berkabung. Tak ada lagi yang akan mengabulkan do'a-do'a kita. Dzikir menjadi tabu. Ritus ibadah merupa tanpa makna. Ia telah beristirahat dengan damai. Sebuah lubang telah mendekapnya. Ia tak mesti lagi murka. Firman-firmannya kini hanya untuk dirinya, ia tak mungkin kecewa. Tak mungkin.

Di depan makam Tuhan yang bernisan hasrat serta bertirai khilaf dan maaf, sepongah nalar berucap:

“Akan kita saksikan, banyak orang kan melepas rindu dalam remang lampu tempat ibadah. Syair puja semilir berkumandang tanpa purnama. Dalam bilik-bilik surau, pada keangkuhan gereja, di antara senyap vihara, dan dari segala tempat yang pernah Tuhan singgahi, orang-orang dengan bola mata meleleh, kan tersungkur memanggil-manggil-Nya. Bukan dalam do'a, atau sekedar menunaikan jadwal ibadah, tapi mereka sedang menziarahi Tuhan.

Kan kau dapati mesjid-mesjid menjadi lengang. Bau sungil menyeruak dan ranum melati menyumpal lubang hidung. Kumandang adzan kan tergantikan kicauan burung-burung pemakaman. Iqomah tak lebih dari risik pohon besar diterpa angin. Sajadah kan merupa hamparan bunga tujuh rupa diatas lahat. Mesjid bukan lagi penampung ritus ibadah kita, ia kan menjadi makam-makam tuhan. Makam sunyi.

Dalam ziarah, kan kita temukan nilai-nilai Tuhan yang telah lama mendingin. Nilai-nilai yang selama ini hanya terselip pada rimbun lafadz-lafadz al-kitab. Atau sekedar barang antik yang hanya di pajang para pendakwah dalam etalase khotbah. Nilai-nilai yang kemudian kita warisi dari Tuhan. Hingga kita kan merupa manusia sempurna. Dan sesal Tuhan menjadi mustahil.

Tak kan pernah ada para penghunus pedang, pembakar rumah ibadah, atau penabuh genderang perang. Mari Berziarah ke Makam Tuhan”. Paparnya. Kemudian Sepi.

*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Semester III. Mendapat juara I lomba menulis karya fiksi se-Kabupaten Cirebon tahun 2003. Dan meraih Juara II menulis Karya Ilmiah se-Kabupaten Cirebon tahun 2005. Pernah bergiat di majalah dinding (Mading) SMA N 1 Pabedilan dan sekarang menjadi reporter (Lembaga Pers Mahasiswa) LPM FatsOen IAIN Syekh Nur jati Cirebon

Dekap-Mu

Dekap-Mu

Laksana debur ombak mengikis karang.
ku telanjangi-Mu selapis demi selapis.
Seteru rindu dimulai, nafas kita kian asma berpeluh rasa.

ku balut ranum bibir dalam dzikir yang menggigil.

Dalam remang tirai itu, imanku kian lamur.
Kuraba lekuk tubuh-Mu dalam tarian syahdu.
Do'a pun mewujud desah yang nampak pasrah.

tubuh kita kini memerah basah
Senggama kita pun lekas purnama


Di atas sajadah, 03:15 WIB. 18 januari 2011

Catatan Malam Hari

Catatan Malam Hari

Aku belum merapuh ketika bulan meluruh
lindap rindu makin asing mendesir dalam rongga dada
mestikah ini tentang bilah rusuk yang hilang
sementara malampun bernyanyi tentang sunyi yang kian nyeri

Kupintal waktu hingga malam menepi
ah, kenapa dada ini makin membiru?
rindu pun membatu, bisu.

Kucium senggama dalam benak
tentang perselingkuhan sunyi dan kenangan usang
mencipta desah yang kian resah
malampun merupa pelacuran rindu yang selalu syahdu.
atau deburan rasa yang menyiksa

Kini ku rindu lekuk senyummu yang telanjang di atas sofa
ketika bau peluh kita hisap bersama
dan dada kita bersua mencipta rasa
dalam nafas yang belum sempurna, kau berucap "persetubuhan kita adalah terlarang"

Selalukah senggama kita tidak purnama?

Kita urai waktu,
kapankah kau kembali dengar gemuruh rindu dalam dadaku?
tidak lagi dalam frasa
namun dalam desah-desah yang kian basah.

Tepi Malam, 12 januari 2011

... Kembali Retak

... Kembali Retak

Ku dapati degup jantung-Mu dalam rigid raga.
Ketika telah lama kita tumpuk malam-malam muram. Tanpa senggama.
lantas birahi berjingkat. Menari-nari dalam irama puja.

Kau lucuti satinku yang membalut lembut.
Hingga kita kembali telanjang. Meregang.

Mengurai rasa.
Ku pilin puting rindu yang mengering.
Kau lekas bergeliat. Selusuri lekuk tubuh. Peluh.
Memburu sukma yang tengah lelap.

Bersandarlah dalam rimbun dadaku.
Hingga malam tenggelam.
dan gemeretak hasrat kembali retak.


Bibir Rumah, 26 Januari 2011.

Minggu, 09 Januari 2011

Menziarahi Makam Tuhan

Menziarahi Makam Tuhan

Oleh: Asep Andri*

Tentang Ia yang Kita Sebut Tuhan

Siapa yang kuasa menyangkal. Ternyata Ia pernah menghilang meninggalkan kita. Sebagian menemukannya tersangkut di antara nalar-nalar pongah, yang lain meyakini Ia terselip di sudut hati nan sunyi. Atau Ia sekedar makhluk sakral tak terjamaah. Pun banyak yang mengira Ia benar-benar pergi, hingga ribuan iman runtuh menjadi puing-puing lusuh.

Ia yang nampak pemalu, sedikit kita dengar pada tiap ritus atas-Nya; hanya sengau syair rindu mangalun merdu dari al-kitab. Pada hizab kesakralan, di antara labirin suci-dosa, sempurna-tidak sempurna, baik-buruk, Ia merupa misteri nan abadi, misteri yang utuh tak tersentuh. Dalam nubuat yang tercipta pun, Ia muncul sebagai sang penyayang dan pengasih. Namun sesekali, Ia mewujud sebagai pengancam dan pendendam; nampak mampu membinasakan siapapun yang lalai kepada-Nya. Begitulah Ia atas tafsir makhluk. Dengan segala misteri-Nya, Ia mampu lahir dalam rupa apapun.

Kini akan kita lihat, kerinduan dan keterbatasan akan bersetubuh dalam benak kita, hingga melahirkan tuhan-tuhan baru. Persetubuhan yang abadi, laik keabadian misteri pada-Nya. Selama hanya parau dalil yang berbicara tentang-Nya, tuhan baru 'kan selalu lahir kembali, sebanyak benak yang pernah terperi.

Cipratan darah pun tak terelakan. 'tuhan-tuhan' yang lahir dari tiap liang benak 'kan saling membunuh, mencaci, dan memaki. Dalam medan perang yang mereka gelar, para tuhan saling menebas dan memanah. melukai dan menyakiti. Merekapun tak lebih dari anjing-anjing lapar yang berebut sebongkah bangkai. Saling menyerang, menjilat, dan menggigit.

Terlebih, 'para tuhan' 'kan banyak berperan sebagai pengeksekusi ranah kehidupan. Mereka lantas berebut kekuasaan dan perhatian. Hingga tak semestinya heran, jika kau menyaksikan 'tuhan' mengajari bagaimana mengayun dan menghunus pedang, membunuh dan membenci, fanatik dan tak peduli. Tak jarang 'ia' kemudian gemar menabuh genderang perang. Menjadi alasan di setiap kerusuhan yang tercipta.

Tuhan tak lagi sakral, Ia terjerat pada tiap nalar dan khayal. Hingga tiap benak seolah harus mewujud rahim rupa Tuhan. Melahirkan sang pengancam nan kejam, atau sang akuntan yang sekedar menghitung banyaknya dosa dan pahala. Tuhan yang Agung pun sungguh telah lama menghilang.

Para Pembunuh Tuhan

Kita dapati degup jantung-Nya pada tiap bulir tasbih. Bau nafas-Nya kita cium pada lekuk tubuh sujud kita. Dibungkus do'a-doa yang masih basah, Ia begitu nyata walau tanpa rupa. Namun, seperti nubuat yang pernah lahir dari jiwa yang gila, ternyata ia telah lama mati, pun membusuk.

Sang sakral, yang begitu laris dalam kedukaan, telah lama meregang. Ia yang ternyata mengisi bulir tasbih kita, muara dari derasnya do,a-doa kita, pun penjamin tiap kesabaran kita, hanya Tuhan yang lahir dari batok-batok kepala. Ia yang sesunguhnya, ternyata telah membusuk merupa jasad yang sunyi. Menyendiri.

Siapa yang menebas-Nya?, hingga amis darah menyeruak. Membasahi sakramen-sakramen pemujaan kita. Dzikir kita begitu basah oleh darah Tuhan. Sembahyang kita menggigil karenanya. Tak perlu berdalih, tangan kita kuyup memerah. Di balik iman-iman kita yang tak memadai, terselip sebilah pedang, bercucur darah tuhan. Saatnya kita menyadari, kita semua telah membunuh-Nya.

Tuhan telah tiada. Jasad-Nya telah terkubur dalam kesibukan dan kepentingan kita, pun tertimbun khilaf-khilaf yang menggunung. Tak lama ku melihat, sekumpulan orang-orang berjenggot yang memikul kitab dipundak-Nya, tengah menggali kubur bagi Tuhan, sembari mengiringnya dengan lafadz-lafadz yang mengering. Namun kemarin, kudapati jasad-Nya tengah diusung dalam hiruk pikuk kampanye, dan dibungkus bendera partai. Ia yang malang, hanya terkulai dihibur nyanyian dongeng-dongeng politik. Dalam ranah lain, ku cium busuk jasad-Nya di bawah meja pejabat, di dalam kantong-kantong rektorat, dan terselip diantara lipatan-lipatan sorban yang tak lagi putih. Ku pastikan, jasad-Nya pernah di seret di atas aspal, melewati riuh pasar, kerlip diskotik, dan kamar-kamar hotel yang bau senggamanya meronta dalam hidung. Namun barangkali, Ia pun sudah lama membusuk, dalam setiap relung hati kita.

Ritual apa yang pantas kita selenggarakan? Syair Do'a apa yang patut dipanjatkan?, haruskah kita sendiri menjadi Tuhan, agar pembunuhan ini menjadi lebih wajar?. Tuhan telah tiada. Siapa yang bertanggung jawab atas hidup kita?

Berziarah ke Makam Tuhan

Semesta berkabung. Tak ada lagi yang akan mengabaikan do'a-do'a kita. Dzikir menjadi tabu. Ritus ibadah merupa tanpa makna. Ia telah beristirahat dengan damai. Dalam liang lahat yang kita gali bersama.

Akan kita saksikan, banyak orang kan melepas rindu dalam remang lampu tempat ibadah. Syair puja semilir berkumandang tanpa purnama. Dalam bilik-bilik surau, pada keangkuhan gereja, di antara senyap vihara, dan dari segala tempat yang pernah Tuhan singgahi, orang-orang dengan bola mata meleleh, kan tersungkur memanggil-manggil-Nya. Bukan dalam do'a, atau sekedar menunaikan jadwal ibadah, tapi mereka sedang menziarahi Tuhan.

Kan kau dapati mesjid-mesjid menjadi lengang. Bau sungil menyeruak dan ranum melati menyumpal lubang hidung. Kumandang adzan kan tergantikan kicauan burung-burung pemakaman. Iqomah tak lebih dari risik pohon besar diterpa angin. Sajadah kan merupa hamparan bunga tujuh rupa diatas lahat. Mesjid bukan lagi penampung ritus ibadah kita, ia kan menjadi makam-makam Tuhan, makam usang tak bernisan.

Dalam ziarah, kan kita temukan nilai-nilai Tuhan yang telah lama mendingin. Nilai-nilai yang selama ini hanya terselip pada rimbun lafadz-lafadz al-kitab. Atau sekedar barang antik yang hanya di pajang para pendakwah dalam etalase retorika. Nilai-nilai yang kemudian kita warisi dari Tuhan. Hingga kita kan merupa manusia sempurna. Dan sesal Tuhan menjadi mustahil.

Tak kan pernah ada para penghunus pedang, pembakar rumah ibadah, atau penabuh genderang perang. Benak kita kan mandul tuk melahirkan tuhan-tuhan palsu. Kematian Tuhan kan terbayar ketika nilai-nilai-Nya mengalir pada darah kita. hadir pada tiap tarikan nafas kita. Marilah berziarah ke makam Tuhan, agar kita bisa mewarisi nilai-nilai-Nya, agar Ia berdamai di alam sana.

*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Semester III. Mendapat juara I lomba menulis karya fiksi se-Kabupaten Cirebon tahun 2003. Dan meraih Juara II menulis Karya Ilmiah se-Kabupaten Cirebon tahun 2005. Pernah bergiat di majalah dinding (Mading) SMA N 1 Pabedilan dan sekarang menjadi reporter (Lembaga Pers mahasiswa) LPM FatsOen IAIN Syekh Nur jati Cirebon.

Senin, 24 Mei 2010

Mother


Mother.

When i was born,
it is not true my body is naked.
Unless wrapped you are full of blood folowing in my body.

When i was born,you dont show wailed,polgnant,an complained.but beasific smile engraved.

Hero,i call you.
Queen will not end.as the season,rates love as isolated.i don't undestand.rumble,
slice your heart,cz my naughty lies spoken by me.swear an immovable.

As your body killed by sympathetic until i realized,love it.

Why isn't tongue tied? This hand doesn't chained ? In fact,the frozen bodies ,if only to hurt you.
O . . Noble beings,
however,invisible to you.it's true.

Mother,
spirit of greatness in the sporttucked tough woman.

Mother,stains untouched spirit selfess love.

Mother,gentle spirit ,always hugging heart.

Mother ,
focus of every prayer.
Said beauty is always present in your mind.

Mother,
the first way as shown in my first shadow ,although in this transitory world .
For you,
my mother . .


By. Nurdiana Dewi