Berziarah ke Makam Tuhan
: Balada kematian Sang Agung
Oleh Asep Andri*
Telah banyak jiwa merindu dalam sepi,
tetapi hanya sunyi yang menghirup bau dupa.
Balada I
Hilangkah Ia?...
Lantas Sepongah nalar selusuri relung sejarah, dalam rindu yang menggebu ataukah hasrat yang menyayat?; melewati perdu keangkuhan lembah Sinai hingga sempat ciumi amis Tanah terjanji, Tuhan kian saja asing.
Sepongah nalar kini tersesat dalam rimbun al-kitab. Lebat. Gelap. Tercium bau nafas Tuhan di sana. Ia berontak dari kekang yang mencekram. Tak ia temukan sepotong Tuhan pun. Hanya sayup desah yang menuai resah. Lekas ia beranjak.
Sepongah nalar kini menembus labirin ruang dan masa. Ia menjemput arakan salib yang tengah dipanggul seonggok tubuh ringkih. Berpeluh lusuh. Berkuyup darah. Menuju sebuah bukit penghabisan, bukit Golgota. Tempat dimana Tuhan pernah tersedu menangis. Pun meringis.
“Ah, mestikah Tuhan secengeng itu?”. Ucap sepongah nalar. Lantas beringsut. Ia melesat.
Kini Ia tengah selusuri lekuk tubuh Tuhan yang membatu. Dingin nan angkuh. Berselimut kelambu dupa. Tuhan terkulai dalam nyanyian do’a-do’a yang kian sendu.
“Mungkin Tuhan lelah, hingga Ia terlelap”. Cibir-nya. Lalu senyap.
Ia sambangi hiruk pikuk seteru. Ketika nama Tuhan diobral, hingga apapun nampak halal; Di antara reruntuhan mesjid-mesjid yang terbakar, luluh-lanta Greja karena ledakan, hingga simbah darah yang memerah basah akibat tebasan pedang Tuhan. Sepongah nalar tak menemukan sua-nya dengan Tuhan.
“Sebuah keimanan, atau Dendamkah?” Tanyanya. Semua gagap. Pun tetap senyap.
Pada suatu waktu, Ia pernah melihat Tuhan diseret dalam arak-arakan kampanye. Riuh yang tak ditemukan dalam ritus ibadah. Berpeluh. Sesak. Wajah Tuhan tersablon dalam tiap helai pamflet dan bendera partai. Tuhan pun dijual dalam etalase retorika. Visi Misi. Mimpi-mimpi. Janji-janji.
“Mengislamkan politik atau mempolitikan islam?. semua nampak serupa”. Ia meracau.
Dalam relung hati, sepongah nalar termangu. Dadanya membiru atas jejak redam rindu. Kemana ini akan beradu?.
“Tuhan, mestikah Kau malu?, ku rindu dekap-Mu. Kapan kita kembali lagi bersenandung dalam degup jantung dan menari dalam harmoni. Bahkan, kurindu bau nafas-Mu yang selalu meluruh lelahku”. Gumamnya. Kemudian sunyi.
Balada II
Pada waktu yang ternubuatkan, Sepongah nalar mendapati Tuhan terkulai. Degup jantung-Nya kan selambat putaran tasbih dan sesayup lantunan dzikir. Lantas hilang. Terganti sepi. Sunyi.
Tuhan ditemukan meregang. Meringkuk busuk. Bau bacin menyeruak seolah mampu layukan semerbak kembang. Busuk-Nya meronta dalam hidung. Napas kan tersengal laik dua lengan berurat mengerat leher. Pengap.
“Ya, Tuhanpun membusuk.” Ungkapnya.
“Sang sakral, yang begitu laris dalam kedukaan, telah lama meregang. Ia yang ternyata mengisi bulir tasbih kita, muara dari derasnya do’a-do’a kita, pun penjamin tiap kesabaran kita, ternyata telah membusuk merupa jasad yang sunyi. Menyendiri. Siapa yang menebas-Nya?, hingga amis darah menyeruak. Membasahi sakramen-sakramen pemujaan kita. Dzikir kita begitu basah oleh darah Tuhan. Sembahyang kita menggigil karenanya. Tak perlu berdalih, tangan kita kuyup memerah. Di balik iman-iman kita yang tak memadai, terselip sebilah pedang, bercucur darah Tuhan. Saatnya kita menyadari, kita semua telah membunuh-Nya. Kita adalah pembunuh Tuhan” Sepongah Nalar melirih. Perih.
Dengan bola mata yang masih meleleh dan dada berdarah karena tersayat rindu, ia seret jasad Tuhan. berderu tangis. Menuju lahat.
Sepongah nalar masih menyeret. Sendiri; Melewati meja-meja kerja pejabat yang nampak berkarat, kamar hotel yang bau senggamanya masih basah, kerlip diskotik, lengang mesjid. Ia masih menyeretnya. Sendiri.
Telah nampak sekumpulan umat bersorban dan berjubah putih. Dengan rambut ikal panjang. Jenggot yang tergerai. Dengan membawa pedang yang berkuyup merah. Mereka tengah menggali lahat. Sebuah lubang untuk Tuhan. Sepongah nalar kemudian heran.
“Mereka tengah mengamini Tuhan” pekiknya.
Hanya gaung yang meraung.
Balada III
Semesta berkabung. Tak ada lagi yang akan mengabulkan do'a-do'a kita. Dzikir menjadi tabu. Ritus ibadah merupa tanpa makna. Ia telah beristirahat dengan damai. Sebuah lubang telah mendekapnya. Ia tak mesti lagi murka. Firman-firmannya kini hanya untuk dirinya, ia tak mungkin kecewa. Tak mungkin.
Di depan makam Tuhan yang bernisan hasrat serta bertirai khilaf dan maaf, sepongah nalar berucap:
“Akan kita saksikan, banyak orang kan melepas rindu dalam remang lampu tempat ibadah. Syair puja semilir berkumandang tanpa purnama. Dalam bilik-bilik surau, pada keangkuhan gereja, di antara senyap vihara, dan dari segala tempat yang pernah Tuhan singgahi, orang-orang dengan bola mata meleleh, kan tersungkur memanggil-manggil-Nya. Bukan dalam do'a, atau sekedar menunaikan jadwal ibadah, tapi mereka sedang menziarahi Tuhan.
Kan kau dapati mesjid-mesjid menjadi lengang. Bau sungil menyeruak dan ranum melati menyumpal lubang hidung. Kumandang adzan kan tergantikan kicauan burung-burung pemakaman. Iqomah tak lebih dari risik pohon besar diterpa angin. Sajadah kan merupa hamparan bunga tujuh rupa diatas lahat. Mesjid bukan lagi penampung ritus ibadah kita, ia kan menjadi makam-makam tuhan. Makam sunyi.
Dalam ziarah, kan kita temukan nilai-nilai Tuhan yang telah lama mendingin. Nilai-nilai yang selama ini hanya terselip pada rimbun lafadz-lafadz al-kitab. Atau sekedar barang antik yang hanya di pajang para pendakwah dalam etalase khotbah. Nilai-nilai yang kemudian kita warisi dari Tuhan. Hingga kita kan merupa manusia sempurna. Dan sesal Tuhan menjadi mustahil.
Tak kan pernah ada para penghunus pedang, pembakar rumah ibadah, atau penabuh genderang perang. Mari Berziarah ke Makam Tuhan”. Paparnya. Kemudian Sepi.
*Penulis adalah mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Semester III. Mendapat juara I lomba menulis karya fiksi se-Kabupaten Cirebon tahun 2003. Dan meraih Juara II menulis Karya Ilmiah se-Kabupaten Cirebon tahun 2005. Pernah bergiat di majalah dinding (Mading) SMA N 1 Pabedilan dan sekarang menjadi reporter (Lembaga Pers Mahasiswa) LPM FatsOen IAIN Syekh Nur jati Cirebon